Cinderella

The characters drinking alcohol in this story are adults.

Wine descriptions are interpreted from the Drops of God manga.

The wine’s vintages are adjusted to match Genshin’s timeline. Year 0 started after the end of Archon War. Current timeline is year 2022.

“Kamu selalu mendengarkan aku ya, Nona Danau…”

Keheningan itu sesekali dipecahkan oleh riak air. Sosok di hadapannya hanya meliuk dalam sunyinya, namun ia tahu bahwa saat ini ia didengar.

“Maukah kamu berjanji untuk selalu mendengarkanku, meskipun apa yang kuucapkan bukanlah apa yang ingin kamu dengar, melainkan kata-kata yang datang dari lubuk hatiku?”

Bisu menjadi jawaban untuknya. Dan kali ini, sosok itu meliuk di udara sebelum kembali bersatu dengan air.

Anak laki-laki itu terdiam, dalam muramnya berpikir bahwa ia memang tidak seharusnya membuka diri pada siapapun–pada apapun. Karena semuanya pasti akan pergi ketika melihat dirinya yang sesungguhnya–ia yang buruk rupa, bukan ia yang dikehendaki.

Namun ketika ia hendak beranjak, kembali suara riak air yang familiar terdengar. Sang anak laki-laki pun, mendapatkan sekuntum bunga Romaritime di dekat kakinya.

Manusia selalu berkata, bunga Romaritime adalah simbol untuk kesetiaan dan sumpah tak akan pernah yang tergoyahkan, sama seperti cinta para roh air terhadap sang dewi. Cinta yang tak pernah pudar bahkan sekalipun sang dewi telah lama meninggalkan dunia ini.

Dan sekalipun sang anak laki-laki tak pernah lagi menginjakkan kakinya di danau itu, riak air yang sama masihlah terdengar di sana,

bersama dengan janji yang diucap di bawah sinar rembulan.


art by @justrfl15

“Lyney, paketnya datang lagi.”

Lagi, karena ini bukan kali pertama Lynette melihat paket yang serupa sebelum mereka berdua bersiap melakukan pertunjukan sulap. Berbeda dengan karangan bunga yang umum diterima kakaknya tercinta, paket ini terdiri atas sebuah tabung yang berisi air dan rangkaian bunga Romaritime yang mekar dengan sempurna. Pembungkus lembut berwarna nila melapisi tabung tersebut, diikat oleh pita emas yang digantungi sebuah kartu ucapan dengan aroma unik. Aroma ini memang selalu berbeda setiap paketnya, namun semuanya memiliki suatu kesamaan: mereka sama dengan satu yang dapat ia temukan dalam acara-acara para ningrat.

Aroma wine.

Ia bukanlah seorang yang suka minum-minum, dan Lyney sendiri diketahuinya hanya beberapa kali pergi ke bar untuk mencari informasi. Namun, keberadaan kartu beraroma wine itu tak pernah gagal membuat senyum merekah di wajah sang kakak. Beberapa kali Lynette ingin menanyakan apa yang sebenarnya tertulis di kartu itu, tapi ia yakin Lyney pasti akan memberitahunya jika memang yang bersangkutan ingin ia tahu. Dan jika tidak—mungkin, itu adalah sesuatu yang ingin Lyney simpan untuk dirinya sendiri.

Tidak masalah, bukan? Mereka memang kembar, mereka memang lebih paham satu sama lain dibandingkan dengan orang lain, dan karena itu juga—mereka yang paling tahu, ketika ada yang sebaiknya diutarakan dan ada yang sebaiknya disimpan dalam hati.

Namun, tetap saja, satu pertanyaan itu terucap dari mulutnya.

“Kamu masih belum tahu siapa yang kirim?”

Gelengan yang diterimanya muram, bersama dengan jemari terbungkus sarung tangan putih itu menelusuri lembut garis-garis yang membentuk kata di atas kartu ucapan. Hanya dengan sekali melihat seperti ini saja ia sudah tahu bahwa Lyney tidak berbohong, identitas sang pengirim paket masihlah belum diketahui. Memang, menemukan sosok itu seharusnya bukanlah sesuatu yang sulit bagi mereka berdua, mengingat rahasia terdalam para bangsawan Fontaine pun dapat mereka ungkap, tapi tetap saja…

“Aku…memang ingin tahu siapa yang kirim. Tapi kalau orangnya masih belum mau menunjukkan diri, apa boleh buat, kan? Lagipula, kalau dicari…”

Kalau dicari?

“Kamu takut orangnya jauh berbeda dari yang kamu harapkan. Atau…kamu takut kehilangan apa yang ada sekarang?”

Lynette tidak menerima jawaban, tetapi ia dapat melihat Lyney yang memeluk erat kartu itu dekat ke hatinya.


“Dengan segala hormat, Lyney, menurut saya ini dapat dijadikan gimmick yang menarik untuk pertunjukanmu dan meningkatkan popularitasmu!”

“Hmm~”

Meskipun yang tengah didesak adalah Lyney, telinga kucing Lynette tetap bergerak-gerak tidak suka. Hugo, salah satu anggota magic troupe mereka ini, memang selalu penuh dengan semangat. Semua hal selalu dilihatnya sebagai peluang untuk meningkatkan popularitas mereka. Tapi ketika kakaknya yang tersayang itu didesak untuk membagikan harta kecilnya menjadi konsumsi publik, kesabaran Lynette agak terusik. Ia sendiri tidak berusaha menggali terlalu banyak mengenai kebahagiaan kecil Lyney, kenapa si menyebalkan yang satu ini tidak bisa sadar diri sedikit, sih?

Sayang, tampaknya Hugo tidak menyadari tatapan gusar dari balik cangkir teh itu.

“Ayolah, Lyney. Nanti pasti makin banyak penggemarmu yang setia!”

“Aduh, Hugo. Berarti kamu menuduh mereka yang ada sekarang itu tidak setia, dong!” Ada tawa renyah yang mengikuti kalimat itu, karena Lyney adalah Lyney dan bukanlah Lynette. Di antara mereka, yang berkewajiban untuk senantiasa mengguratkan senyum di wajah hanya satu orang. “Lagian, kamu ini kayak nggak percaya dengan kemampuanku, deh! Padahal tanpa perlu menceritakan soal, hmm, penggemar rahasiaku juga, mereka kan sudah tertarik dengan sulapku!”

“Maksud saya bukan begitu, Lyney. Iya sekarang kamu sudah populer, tapi kita kan tidak boleh berpuas diri di sini saja. Kita harus mencari lebih dan lebih! Dan kalau ini bisa menjadi ide yang baik—”

“Hugo, sudah selesai memeriksa ulang peralatan untuk pertunjukan nanti, belum?”

Sang pemuda berambut hitam terlihat tersedak sebelum tergesa-gesa meninggalkan ruangan persiapan mereka bersama dengan serangkaian kata permintaan maaf. Lynette menghela nafas dengan agak gusar, namun tatapan berterimakasih dari sang kakak cukup meredakan kekesalannya. Untung saja begitu mudah mengalihkan perhatian Hugo, karena kalau tidak…

“Kayaknya lain kali mendingan kamu ambil paketnya kalau lagi nggak ada Hugo.”

Lyney meringis, tapi dengan perlahan mengangguk setuju. Tabung karangan bunga Romaritime dipeluknya dengan erat selagi ia mengambil kartu ucapan yang disematkan di pita paket tersebut. Melihat pesan yang tertulis di kartu itu, kernyit di wajahnya berubah menjadi satu senyum yang halus. Bibirnya menggumam sesuatu, seolah hendak mengulang apa yang disampaikan oleh sang penggemar rahasia.

Sang adik pun sedikit menelengkan kepalanya.

“Apa?”

“Nggak, bukan apa-apa kok,” adalah jawaban yang datang bersamaan dengan kartu ucapan tersimpan di saku. “Tadi cuma… Ya, aku cuma coba mantra rahasia-nya…”

Lynette tidak tahu apa mantra rahasia yang dimaksud, tetapi ia dapat melihat tangan Lyney yang berhenti gemetar sebelum menaiki panggung.


Tepuk tangan yang meriah memenuhi Hotel Debord, seperti biasanya. Lyney dan Lynette pun membungkukkan badan sebagai penghormatan terakhir kepada para penonton. Namun, tepat sebelum mereka berdua meninggalkan panggung, Hugo dengan tergesa menghampiri mereka sebelum menghadap ke arah penonton dan berteriak dengan lantang.

“Whoops, jangan bergerak dulu, wahai tamu-tamu kami yang terhormat! Kami masih punya pengumuman lainnya untuk kalian!”

Tentu saja si kembar saling menatap satu sama lain sebelum mengembalikan pandangan mereka pada sang pemuda berambut hitam yang kali ini menjadi pusat perhatian para penonton. Tidak satupun di antara mereka diajak berdiskusi mengenai masalah ini oleh Hugo sebelumnya. Oleh karena itu, bahkan Lyney pun tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya ketika mendengar apa yang dikatakan Hugo.

“Jadi, ceritanya Lyney selama ini punya penggemar rahasia yang sering mengirim karangan bunga Romaritime kepadanya! Dan ternyata diam-diam Lyney ini suka lho, tipe bunga yang kalem begitu,” ujar Hugo dengan seringai besar di wajahnya. “Nah, sayangnya nih, karangan bunga ini nggak pernah ada identitas pengirimnya! Iya, seperti Cinderella yang identitasnya tidak diketahui tapi sepatu kacanya tertinggal. Padahal Lyney sangat, sangat, sangat, sangat ingin mengetahui siapa yang kirim.”

Lynette terdiam, bahkan tidak sanggup melihat ke sisi untuk mencuri pandang ke arah sang kakak.

“Karena itulah, wahai nona, nyonya, dan mungkin juga tuan.” Ada tawa dari arah para penonton mendengar ucapan Hugo, tapi bahkan Lyney sendiri pun tidak tertawa. “Jika ada di antara kalian yang memang sang penggemar rahasia itu, bolehlah berikutnya karangan bunganya diberikan identitas. Siapa tahu ini memang pertemuan yang ditakdirkan antara dirimu dan Lyney, pangeran tercintamu!”

Sungguh, Lynette tidak tahu seberapa tidak sadar dirinya Hugo untuk dapat menoleh ke arah mereka berdua dengan senyum berbinar-binar, seolah ia baru saja melakukan sebuah jasa yang sangat besar. Dorongan untuk menghantam senyum menyebalkan itu dengan pedangnya sangat besar, tapi genggaman Lyney di tangannya dan tatap yang datang sudah cukup untuk membuatnya menghentikan langkah.

Dan, layaknya penghibur sejati,

“Ah, ah, padahal tadinya mau kusimpan ini untuk pertunjukan berikutnya,” tutur Lyney, seolah memang sejak awal ia berniat melanjutkan perkataan Hugo. “Tapi ya, begitulah ceritanya! Yang ditinggalkan oleh Cinderellaku memang bukan sepatu kaca, melainkan karangan bunga Romaritime. Nah, pertanyaannya, siapa gerangan kah Cinderellaku itu…?”

Lynette tidak menyukai gemuruh yang datang dari arah bangku penonton, tetapi ia dapat melihat tangan Lyney yang mengepal dalam gemetarnya selagi sang kakak bertukar bisik rendah dengan Hugo yang masih menyeringai lebar.


“Nggak ada?”

Gelengan menjadi jawaban untuk Lynette. Dan lagi-lagi, ia memiliki keinginan yang sangat besar untuk meratakan seringai lebar di wajah Hugo. Si brengsek itu tidak henti-hentinya mengumandangkan bahwa hujan buket bunga Romaritime di ruang persiapan Lyney dan Lynette adalah berkat jasanya. Jumlah penonton wanita mereka memang meningkat drastis, bersama dengan kartu-kartu ucapan yang menyuratkan identitas para penggemar Lyney dari berbagai kalangan. Mulai dari bangsawan hingga mereka yang tinggal di Fleuve Cendre, semuanya dapat ditemukan di antara pengirim buket-buket bunga tersebut. Tapi…

…tidak satu pun dari kartu-kartu itu yang diikatkan di pita emas dan memiliki aroma manis wine. Dan bersamaan dengan itu, tidak ada di antara mereka yang membuat senyum lembut kembali merekah di wajah Lyney.

Melihat wajah muram kakaknya, Lynette agak kesulitan mengontrol kemarahannya sendiri. Tapi, tentu saja ia tidak ingin membuat Lyney terbeban lebih banyak daripada ini. Karena itulah ia memilih untuk tidak mengucap nama Hugo si brengsek dari mulutnya dan berfokus pada sosok yang lebih mungkin memenuhi pikiran sang kakak.

“Mungkin orangnya sibuk.”

“Hmmh. Jadwal pertunjukan kita juga makin padat. Tapi…”

“…tapi sebelumnya, dia nggak pernah absen sekali pun?”

“Iya…”

Pintu terkunci, tidak ada yang melihat. Karena itulah Lynette menarik kakaknya dalam satu pelukan, memahami betul apa yang sungguh membuat hati Lyney hancur. Ia yang paling paham bahwa selama ini, segala yang dimiliki Lyney adalah untuk kepentingan yang lebih baik. Untuk kepentingan Fontaine, untuk kepentingan House of the Hearth, untuk kepentingan magic troupe mereka. Dan ikatannya dengan sang penggemar rahasia, buket bunga Romaritime bersama dengan kartu ucapan yang beraroma manis wine adalah satu dari sedikit harta yang memang hanya milik Lyney seorang, untuk dirinya sendiri.

Lalu sekarang harta itu lenyap demi popularitas magic troupe mereka.

“Pada akhirnya, yang kamu takutkan…”

Lynette tidak memerlukan jawaban, karena rengkuh Lyney yang semakin erat di tubuhnya sudah cukup sebagai konfirmasi atas pernyataannya itu.


Lyney selalu mengatakan bahwa ketidakhadiran Lynette di sisinya akan membuatnya memasuki mode standby. Dan sesungguhnya, hal itu bukanlah merupakan sesuatu yang serta-merta buruk. Kadang kala, memang waktu-waktu sendiri seperti inilah yang dibutuhkan baik olehnya dan juga oleh Lynette. Karena itulah malam itu ia terlihat menelusuri jalanan Vasari Passage sendirian, menikmati angin malam yang menyapa lembut wajahnya.

Dengan segala yang terjadi dalam kehidupannya, memang sudah lama sekali sejak terakhir kalinya ia memiliki waktu untuk jalan-jalan malam yang sebenarnya cukup ia nikmati. Makanya, ketika ada kesempatan seperti ini, ia ingin memanfaatkan kesempatan yang ada dengan semaksimal mungkin. Lagipula…

…mungkin, bersamaan dengan ini, ia dapat mengucapkan selamat tinggal terakhirnya kepada kartu-kartu ucapan beraroma manis yang selama ini menemani tidurnya.

Ya, setelah apa yang dilakukan oleh Hugo, dan setelah berhentinya buket bunga Romaritime yang selama ini selalu ia tunggu-tunggu, ia jadi berpikir bahwa keberadaan kartu-kartu ini mungkin hanya akan menjadi beban pikirannya, mengambil tempat yang seharusnya dapat digunakan untuk mempertimbangkan hal-hal yang lebih penting. Kenapa juga ia harus memikirkan apakah sang penggemar rahasia sudah tidak lagi menyukai dirinya, padahal ia masih memiliki tanggung jawab untuk menyusun rencana dalam menyelesaikan misi yang diberikan oleh Father? Pada akhirnya…

Pada akhirnya, kartu-kartu yang dulu membuat senyumnya merekah justru telah menjadi penoreh luka di hatinya.

Karenanya, di akhir jalan-jalan malam ini, Lyney memang berniat untuk membuang kartu-kartu yang ada dalam sakunya. Namun, dengan segera niatnya goyah ketika ia mencium aroma yang sangat familiar baginya. Aroma yang kerap menemaninya dalam tidurnya, aroma yang selama ini membawa tenang dalam hatinya, aroma yang sempat membawa gundah bagi benaknya—kali ini datang tidak dari sakunya, tetapi dari pintu yang berdiri di hadapannya. Sebuah pintu yang digantungi papan nama bertuliskan Mer d’Étoiles.

Pintu yang sedikit demi sedikit ia buka dalam keraguan.

“Selamat datang—oh, tamu yang tak terduga☆!”

Wanita berambut sewarna laut yang berdiri di balik meja bar itu sungguh terlihat tersenyum, bahkan dengan matanya, sebagai sebuah sambutan. Kuncir kuda ikal yang dimiliki sosok itu berayun bersama geraknya yang tak berhenti bahkan sekalipun Lyney sudah melangkah masuk dan menghampiri konter. Sepertinya wanita itu hendak menyelesaikan pekerjaannya menyusun botol-botol wine di rak sebelum menghampiri sang pesulap.

Yang, tidak seperti biasanya, mengalami kesulitan untuk menentukan apa yang sebaiknya ia katakan atau lakukan selanjutnya. Mau bagaimana lagi? Dia ini masih dalam mode standby, lho.

“Oits, oits… Maaf ya, tadi sedikit lagi kelar nyusunnya jadi saya lanjut dulu,” ujar sang wanita sambil terkekeh dan menghampiri Lyney yang masih berdiri di dekat konter, mendorongnya lembut di pundak untuk bergerak ke arah salah satu kursi bar. “Yuk, duduk, jangan berdiri terus. Bahaya kalau nanti kamu pegal-pegal, soalnya di sini saya tidak sedia jasa pijat, hehehe.”

Melihat senyum yang lebar dan hangat itu, entah kenapa dengan begitu cepat senyumnya sendiri tersungging sebagai suatu balasan. Ah, sudah berapa lama sejak terakhir kalinya senyum yang tidak dibuat-buat seperti ini dapat menghiasi wajahnya? Dan ia pun kembali menemukan dirinya yang biasa, menemukan kemampuannya untuk menjawab kelakar itu dengan ucapnya.

“Baru sebentar begitu, mana mungkin pegal-pegal. Lagipula, kalau di hadapan wanita secantik Nona, mustahil rasanya aku bisa merasa pegal!”

“Oh, licin juga. Tidak heran banyak orang jatuh hati padamu, apalagi kalau yang tadi ditambah dengan senyum manismu itu,” balas wanita itu dengan seuntai tawa lepas sebelum kembali ke balik konter bar. “Yaa, memang kalau hitungannya sejak kamu berdiri di situ, iya sih tidak selama itu. Tapi kalau sejak jalan-jalanmu di luar, saya rasa waktunya tidak sesingkat itu. Hm, setengah jam? Satu jam?”

Lyney tidak tahu apa yang lebih membuatnya terkejut: fakta bahwa wanita ini dengan mudahnya menanggapi rayuannya dengan cumbu yang tidak jauh berbeda, atau justru tebakan (dugaan?) yang terlalu tepat mengenai dirinya yang baru saja jalan-jalan di luar. Untuk sesaat matanya membelalak, namun dengan cepat ia berusaha mengontrol keterkejutannya dan kembali pada topengnya yang biasa.

“Ehem, aduh. Rasanya wajahku jadi memerah kalau dibilang manis seperti itu,” tuturnya sambil berusaha tertawa pelan. “Terus, kok Nona bisa tahu aku tadi jalan-jalan di luar? Jangan bilang Nona menguntitku tadi…? Hmm, memang rasanya seperti mimpi indah yang menjadi kenyataan kalau yang menguntitku adalah Nona, tapi tetap saja…”

“Hush, pencemaran nama baik itu. Kamu mau saya laporkan ke Gardes? Lumayan sih, nanti saya tinggal minta kompensasi tiket pertunjukan sulap gratis.” Sekali lagi, tawa berkumandang mengikuti balasan yang datang dari sang wanita dan Lyney menemukan dirinya kembali tersenyum simpul. “Tapi kalau kamu memang penasaran dari mana saya tahu, jawabannya itu rambutmu. Kalau seberantakan ini, tidak mungkin kena angin malam hanya sebentar saja. Dan juga suhu tubuhmu waktu tadi saya sentuh pundakmu, yang seperti itu seharusnya sudah di luar cukup lama.”

“Wow…”

Untuk yang ini, memang kekagumannya tidak dibuat-buat. Meskipun sebenarnya ia masih tidak mengerti kenapa wanita itu dapat mengetahui seperti apa suhu tubuhnya hanya dengan sedikit sentuhan, tapi tetap saja cara menerka yang seperti itu membuatnya teringat pada…

“Hebat sekali, Nona. Seperti seorang detektif…”

“Mungkin karena saya memang seorang detektif kalau sedang ada kasus yang menarik,” jawab sang wanita sambil mengedipkan sebelah mata. “Ya, tapi seharusnya tidak untuk hari ini, sih. Sekarang kan, saya sedang menjadi master dari Mer d’Étoiles yang siap melayani kebutuhan pelanggan di depan mata.”

Samar-samar, Lyney ingat bahwa ia sempat melihat nama itu di papan nama yang tergantung pada pintu yang dilaluinya tadi. Namun, usahanya untuk mengingat dengan segera dikacaukan oleh suatu perasaan yang aneh ketika nila miliknya bertatapan langsung dengan dua binar sewarna lautan kepunyaan sang wanita. Perasaan itu aneh karena walaupun rasanya mereka baru bertemu hari ini—

sesuatu.

rasanya, terlalu nostalgik.

Ia terdiam, hanyut pada familiarnya warna air yang menyambutnya dan mengingatkannya pada rasa dan memori yang telah lama ia lupakan. Rasa yang tidak asing itu mengunci sihir kata-kata yang biasanya dengan begitu mudah ia ucapkan di hadapan insan lain, dan sebagai gantinya membuat begitu banyak pertanyaan timbul dalam benaknya. Satu demi satu, mereka menumpuk dan membuncah menjadi sesuatu yang tidak berbentuk—

hingga baginya, tidak ada satu pun yang terucap.

Pandangannya kini bertemu dengan sebuah gelas yang terisi cairan sewarna rubi. Tanpa perlu bertanya juga Lyney sudah tahu itu minuman apa, tapi pandangan bisunya kepada wanita di hadapannya ini mengandung sebuah pertanyaan, kenapa?

“Karena sepertinya itu yang kamu butuhkan, kalau intuisi saya tidak salah.” Tutur itu datang bersamaan dengan sebuah senyuman lembut. “Setidaknya, inilah salah satu aroma yang ada padamu.”

Jangan menerima makanan atau minuman yang ditawarkan oleh orang yang tidak dikenal adalah pelajaran yang dahulu diterimanya pertama kali dengan penuh kepahitan. Namun, ada sesuatu dalam senyuman di hadapan matanya ini yang memberitahunya bahwa tidak apa-apa andaikata ia mengulurkan tangannya untuk meraih gelas itu. Pengaruh dari rasa nostalgik yang tidak dapat dipahaminya ketika menatap sang bartender, kah? Atau mungkin…

…aroma dari gelas itu, sangat familiar.

Seperti…

…seperti salah satu kartu di sakunya.

Lyney tidak tahu seperti apa ia harus mendeskripsikan apa yang ia rasakan ketika meminum wine itu. Rasa yang memenuhi inderanya begitu kaya dan kuat, namun terlihat struktur dan keagungan yang ditujunya. Dan ia pun merasakan bahwa dirinya dibawa terbang tinggi, meninggalkan segala keraguannya, mengucapkan selamat tinggal pada gundah yang memenuhi benaknya—

—ah. Ia ingat, rasa ini. Kagum dan lega yang meledak di hatinya ketika ia seolah terbang di angkasa akibat trik sulap di salah satu pertunjukannya dahulu. Ketika untuk sesaat ia lupa bahwa sulap baginya adalah suatu alat untuk bertahan hidup dan bukan lagi sesuatu yang sungguh dinikmatinya. Rasa akan kebebasan itu, seolah tidak ada lagi yang dapat membelenggu dan membebani hatinya…

Kenapa? Kenapa hanya dengan seteguk saja minuman ini dapat membawanya kembali teringat pada saat-saat itu?

“Minuman ini…”

Château Chasse Spleen, 1970,” balas sang wanita sambil meletakkan botol wine tersebut di depannya. “Rasanya seperti diajak untuk naik ke punggung Pegasus dan melupakan kenyataan walaupun sesaat, eh?”

Lyney terdiam sesaat sebelum membelalakkan matanya ketika mendengar nama yang disebutkan oleh wanita itu. Dengan tergesa, dikeluarkannya kartu-kartu dari sang penggemar rahasia yang tersimpan di sakunya, jari-jemarinya membalik kartu-kartu itu dengan cepat sebelum terhenti ketika matanya menangkap kata yang dikenalinya.

Pertunjukan yang kemarin bagus sekali, Minette! Kalau boleh jujur, jantungku memang agak berdebar melihatmu terbang tinggi seperti itu. Ya, biar bagaimanapun juga aku tidak bisa tidak khawatir kalau soal kamu. Aku takut kamu jatuh… (iya iya, kamu hebat, tapi kan tetap saja aku takut…)

Tapi kalau dari wajahmu, aku tahu kalau kamu benar-benar menikmati waktumu di atas sana, kan? Haha, mungkin memang terbang tinggi seperti itu adalah sesuatu yang perlu kita semua lakukan. Sekali-sekali melupakan semua masalah yang dimiliki tidak terdengar terlalu buruk, bukan?

Hmm, waktu melihat pertunjukanmu, rasanya aku jadi ingin minum Chasse Spleen, terutama vintage 1970-nya. Mungkin suatu hari nanti, kita dapat terbang ke langit bersama-sama seperti gambaran wine ini, eh?

Oh iya, hampir lupa, sudah waktunya untuk mantra rahasia kita, bukan? Hehe, dengar ya, Minette: percayalah pada dirimu sendiri. Kalaupun kamu tidak yakin kamu bisa, percayalah padaku yang yakin bahwa kamu tidak akan gagal.
Forever and always,
X

“Memang Chasse Spleen 1970…”

Wanita itu bertumpu pada kedua tangannya di atas konter, nampak membungkukkan badannya ke arah Lyney dengan maksud untuk ikut melihat kartu yang ada di tangannya. Ada siulan yang datang dari sosok itu ditambah dengan satu senyum yang lembut, lalu biru laut yang menatapnya itu kini berkilau terhibur.

“Ooh, jadi dari sana aroma wine yang menempel di badanmu. Pantas kok saya bingung, kamu nggak kelihatan sudah minum-minum tapi ada aroma wine-nya,” ujar sang wanita sambil terkekeh. “Ada macam-macam sih aromanya, tapi dari semuanya yang paling cocok untukmu sekarang ya Chasse Spleen.”

Lagi-lagi, Lyney tidak perlu mengutarakan kebingungannya. Wanita itu sudah memahami apa yang hendak ia tanyakan, karena senyum sabar dan tutur yang datang berikutnya sudah lebih dari cukup untuk menjawab pertanyaannya.

“Soalnya chasse spleen itu sendiri artinya selamat tinggal kesedihan.” Ada cengir jahil yang datang selagi gelasnya kembali diisi dengan wine. “Sangat cocok untukmu yang wajahnya sedang berantakan seperti ini, haha!”

Selamat tinggal, kesedihan.

Untuk sesaat, biarkan ia melupa.

Kenapa, ia tidak dapat menahan dirinya untuk pun turut tersenyum sebagai balas atas tawa hangat yang sedang menyapanya?

“…terima kasih banyak, Nona. Mungkin memang ini yang kubutuhkan.” Lyney sadar suaranya tidak seriang dan secerah yang biasanya, namun wanita di hadapannya ini tidak nampak keberatan—dan ia sendiri, pun, menemukan dirinya tidak berkeberatan. “Dan… Maaf, tapi sejak tadi…nama Nona?”

Sosok itu mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu membelalakkan mata seperti menyadari sesuatu. Kemudian terdengar suara gelak tawa yang tidak tertahan-tahan.

“…ya. Astaga. Benar juga. Saya sih memang langsung kenal kamu karena siapa juga yang nggak tahu kamu, Lyney. Tapi…iya ya, saya tadi nggak kasih tahu kamu siapa saya,” kata wanita itu dengan penuh kegelian akan tindakannya sendiri. “Pelanggan sini biasanya panggil saya Master, tapi kamu bisa panggil saya Axelle.”

Dan sejak saat itu,

warna biru lautan itu, baginya adalah Axelle.


“Hmm, yang ini… Axelle, mau dengar deskripsimu, dong.”

Dih. Berani bayar berapa?”

“Hmm… Tiket ke pertunjukanku yang berikutnya?”

Deal.”

Ia tertawa pelan, nila matanya berbinar-binar memperhatikan gelas wine yang diangkat sosok itu di bawah cahaya lampu.

“Hmm, rubi, ya… Seperti permata yang ada di cincin milik seorang bangsawan. Aku bisa melihatnya mengulurkan tangan padaku, menyambutku untuk masuk ke dalam kediamannya…”

Matanya pun, terpejam.

“Dan di balik pintu mahogani besar ini, aku mendapatkan bahwa sang bangsawan telah membawaku ke masquerade yang dilangsungkan di kediamannya. Sebuah pesta topeng yang misterius—tidak ada yang saling tahu tapi sensasi yang diberikannya begitu kuat.”

Lalu ia, hanyut dalam imaji itu.

“Ada seseorang yang menggenggam tanganku, menarikku untuk semakin tenggelam dalam pesta itu. Aku dapat mencium aroma tembakau dari pakaiannya, aroma yang begitu dicintai bumi. Dan meskipun siapa yang ada di balik topeng itu tetaplah sebuah misteri bagiku, aku menggenggam tangannya dengan erat dan membiarkannya membawaku dalam ilusi satu malam ini. Sebuah ilusi yang diakhiri oleh satu ciuman yang meninggalkan setitik rasa manis almond di bibirku.”

Terbayang, memang, rasa yang kompleks dan seolah penuh mimpi itu. Dan kalau untuk yang ini…

Minette, pertunjukan yang kemarin sungguh tidak seperti pertunjukanmu yang biasanya. Tapi…entah kenapa aku menyukainya.

Bahkan ketika kamu berbaur di antara para penonton yang tidak kalah meriah kostumnya, kamu tetap bersinar. Topeng yang kamu kenakan sama sekali tidak menyembunyikan kilaumu. Bagaimana caramu melakukannya, Minette? Atau memang itu sihir yang hanya dimiliki olehmu satu-satunya di tanah Teyvat ini?

Oh iya, biskuit almondnya enak sekali. Benar-benar mengakhiri malam seperti mimpi yang bagaikan Boyd-Cantenac. Dan yang paling pantas untuk disandingkan dengan misteri yang kamu bawa jelas hanya vintage 2001-nya.

Nah, sudah waktunya untuk mantra rahasia kita! Dengar ya, Minette: percayalah pada dirimu sendiri. Kalaupun kamu tidak yakin kamu bisa, percayalah padaku yang yakin bahwa kamu tidak akan gagal.
Forever and always,
X

“2001 Château Boyd-Cantenac, ya?”

“Bingo.” Axelle meletakkan botol wine itu di atas konter, mata biru lautnya nampak berseri-seri karena lagi-lagi impresi wine yang disampaikannya selaras dengan kartu yang dipegang Lyney. “Oke, sekarang giliranmu. Ceritakan seperti apa pertunjukan yang disebut-sebut di kartu itu.”

“Hmm, waktu itu ada pesta topeng di Hotel Debord dan kami diminta untuk mengisi pertunjukan sulap. Aku dan Lynette berganti-gantian menyamar jadi penonton dan memakai banyak trik yang tidak fokus di panggung. Lalu, di akhir pertunjukan, kami juga membagikan bingkisan yang isinya ada biskuit almond.”

“Biskuit almond—buatanmu?”

“I…ya? Dan adikku juga sih…”

“Wow. Katakanlah aku iri pada penonton-penontonmu waktu itu.”

Ada senyum, ada gelak tawa, dan Lyney pun terlupa bahwa ia sempat diliputi lara.


“Jadi…”

“Hmm?”

“Sebetulnya aku penasaran, kenapa malam itu kamu bisa sampai ke barku?”

Dan, refleknya,

“Ah, itu. Mungkin…takdir?”

Orang yang memang menyimpan ketertarikan padanya pasti akan tersipu-sipu malu apabila dibalas seperti itu. Di sisi lain, orang yang memang menunggu jawaban serius pasti akan tersinggung karena menganggap ia memandang remeh sang penanya. Padahal, pada akhirnya ini pun bentuk pertahanan dirinya ketika ada yang tanpa terduga ingin mencuri lihat isi hatinya yang sesungguhnya. Karena baginya, Axelle pun masihlah salah satu dari sekian wajah yang berlalu-lalang di bawah menara itu.

Ya, kan?

Namun ketika wanita itu hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum dan mendengus pelan, lalu lanjut membersihkan gelas wine yang di tangan, justru Lyney yang ganti terusik dan bertanya-tanya.

“…apa?”

“Hah? Apanya yang apa?”

“…kamu nggak marah dijawab seperti itu?”

Axelle hanya mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum mengangkat bahu. Terlihat jelas sekarang justru dia yang bingung karena pertanyaan Lyney.

“Kenapa juga harus marah?”

“Ya…kan, aku nggak langsung jawab. Malah bercanda dulu…”

“Oh, aku sudah mulai hafal kebiasaanmu.”

“Kebiasaan?”

Gelas diletakkan di atas konter dan, tak berbeda dari malam-malam yang mereka lewatkan bersama, Axelle kembali membungkukkan badannya di atas konter dan bertumpu di kedua lengannya. Biru yang senantiasa mengingatkan Lyney pada air laut itu pun kembali menatapnya, tak sedikitpun amarah atau rasa tersinggung dapat ditemukan di sana.

“Kalau kamu memang nggak mau membicarakan itu, kamu akan menjawab dengan candaan atau mengalihkan topiknya,” lanjut Axelle sambil tersenyum penuh paham dan sabar. “Dan kalau kamu nggak mau, untuk apa juga kupaksakan? Toh aku tadi bertanya juga cuma untuk memenuhi rasa penasaranku.”

Lyney terdiam, tidak terbiasa dengan jawaban seperti itu. Misteri dan tipu daya yang ia bawakan pada umumnya hanya membawa tatap terpikat ataupun kerut penuh amarah untuk diarahkan kepadanya. Namun, kali ini yang menyambutnya adalah suatu ketenangan yang menerima dengan apa adanya. Sesuatu yang sangat asing dan tidak pernah dirasakannya datang dari orang lain selain Lynette—tapi entah kenapa, ia sama sekali tidak membenci perasaan ini.

“Jadi ya, mending kita ngomongin yang lain saja, nggak sih?” Wanita berambut biru itu tertawa renyah sambil meletakkan sebuah mangkuk di hadapan Lyney. “Kemarin ada pelangganku yang ngasih resep masakan ikan dari Liyue, jadi aku coba buat. Kamu suka ikan, kan?”

“Suka…”

“Tetap ada kucing-kucingnya ya biarpun kupingmu nggak kayak adikmu,” ujar Axelle sambil terkekeh. “Ini ikannya direbus, jadi kamu tidak perlu takut lemak. Ada sedikit minyak aroma sih, tapi lebih untuk tambahan rasa, kok. Mau coba?”

Aromanya yang unik dan tidak seperti kebanyakan makanan Fontaine memang membuat Lyney agak tergiur.

“Mau…”

Tak sampai lima menit, Lyney sudah harus mengibas-ngibaskan tangan di depan lidahnya sambil menunggu Axelle membawakan susu untuknya.

“Maaf, maaf, aku lupa bilang kalau makanannya pedas.”

Axelle meringis, kali ini telah meninggalkan konter barnya untuk berdiri di belakang Lyney dan mengusap punggungnya. Dengan cepat, pemuda yang sepertinya secara literal memiliki lidah kucing itu pun menenggak susu yang diletakkan di depannya, besar harapannya bahwa minuman itu dapat menghilangkan rasa pedas yang meledak di mulutnya.

Untungnya ia memang tidak dikecewakan, karena sedikit demi sedikit rasa pedas itu hilang.

“…jahat.”

“EH?! Kan sudah kubilang kalau aku lupa kasih tahu!”

“Tetap saja jahat. Pedas…”

“…maaf…”

Melihat wanita itu sungguhan nampak susah hati karena baru saja membuatnya kepedasan, mau tidak mau Lyney tertawa pelan. Padahal ia baru saja merajuk dengan separuh bercanda, tapi sepertinya Axelle menanggapinya dengan serius. Rasanya seperti sedang melihat seekor anjing yang lesu karena baru saja dimarahi oleh tuannya, walaupun tuannya hanya berpura-pura marah.

“Axelle, aku nggak marah betulan, kok. Tadi aku cuma bercanda…”

“…iya kah?”

Untuk orang yang baru saja dengan mudahnya mengenali tindak-tanduk Lyney ketika ia merasa tidak nyaman dengan topik pembicaraan, proses cerahnya wajah Axelle setelah diyakinkan bahwa Lyney tadi sungguh tidak marah adalah sesuatu yang—menarik. Dan dengan ini pun ia jadi tahu, Axelle sangat tidak ingin membuatnya marah. Kalau dipikir-pikir lagi, sejak mereka pertama kali bertemu pun, wanita itu hanya selalu berusaha untuk membuatnya tersenyum, bukan?

Sesuatu, terasa hangat di dadanya.

“Iya. Tapi aku bakalan marah kalau kamu nggak bikin ulang makanannya. Aku masih mau soalnya, tapi nggak mau sepedas tadi. Kalau masih pedas, nanti aku sulap wine koleksimu jadi botol cabai Jueyun.”

“EH, JANGAN DONG—”


“Axelle?”

“Iya?”

“Kamu…masih penasaran soal kenapa aku bisa sampai ke barmu?”

“Pakai tanya. Ya masih, lah.”

Jujur dan transparan, tanpa sedikit pun usaha untuk menyembunyikan. Keberadaan Axelle memang sangat bertolak belakang dengannya yang terus-menerus bersembunyi di balik kebohongan, menumpuk tipu dayanya menjadi sebuah menara hingga dirinya yang sesungguhnya tidak lagi dapat ditemukan oleh siapapun. Kadang Lyney berpikir, apakah ia merasa iri melihat kejujuran yang seperti itu? Begitu mudahnya Axelle menyampaikan apa yang ada dalam pikiran dan hati, sementara dirinya sendiri—seberapapun orang menyukai ilusi yang ia pertontonkan, pada akhirnya tidak ada peduli mereka akan apa yang dirasakan oleh hati yang ada di balik ilusi itu.

Ia bukannya tidak mengerti juga. Bagi mereka, menganggapnya sebagai manusia yang pun memiliki perasaan dan torehan luka di hati—adalah sesuatu yang dapat membangunkan mereka dari ilusi itu, bukan?

“Tapi,” lanjut Axelle, dengan begitu mudahnya membuyarkan lamunan sang pemuda. “Kalau kamu masih nggak mau cerita, ya nggak apa-apa. Jangan merasa terpaksa untuk cerita, Lyney.”

Bahkan di bawah lampu bar yang temaram, biru itu masihlah terlihat terlalu jernih, terlalu jujur. Namun, justru jernih yang senantiasa menerima itulah yang membuatnya—

“…bukannya nggak mau…”

Bukan, yang memenuhi hatinya saat ini bukanlah rasa iri.

“Eh…?”

Daripada iri, yang dirasakannya—

“Kalau aku cerita…”

takut.

“…kalau nanti pandanganmu soal aku berubah…”

Ia takut akan runtuhnya rasa percaya itu. Entah sudah berapa kali ia melihat air muka yang berubah karena orang tidak lagi menaruh percaya padanya, ketika neraca keadilan dalam diri insan yang menatapnya tidak lagi berimbang karena apapun penjelasan yang ia berikan tak akan didengar. Dan entah kenapa, kali ini, Lyney tidak ingin melihat ekspresi itu muncul dalam biru lautan yang kini tengah menatapnya. Ia tidak ingin rasa aman yang selama ini senantiasa menyambutnya itu berubah menjadi dingin yang menyesakkan, berubah menjadi lautan yang dipenuhi oleh rasa tidak percaya.

Takut…

Ia memejamkan matanya rapat-rapat. Ia tidak ingin melihat seperti apa wajah Axelle setelah mendengar apa yang baru saja ia ucapkan. Bukankah akan sangat mengecewakan, mengetahui bahwa ia yang biasanya percaya diri dan bersinar di atas panggung ternyata begitu mudah terpengaruh pandangan orang terhadap dirinya, begitu mudah dihancurkan hanya dengan tatapan yang tidak lagi sama?

Lalu,

hangat, jari-jemari yang terjalin dengan miliknya sendiri.

“Nggak akan.”

Jawaban itu singkat. Dan memang, ia menemukan bahwa jernihnya warna lautan itu masihlah tidak berubah. Paham dan menerima, menunggunya hingga ia sendiri yang mengucap. Layaknya oasis yang menunggu di tengah padang gurun yang gersang, siap dalam diamnya hingga sang musafir datang untuk memuaskan dahaganya di sana. Seperti itukah keberadaan Axelle baginya?

“Ya soalnya kan nggak mungkin juga kamu kemarin datang untuk merampok,” ujar Axelle yang diikuti dengan satu kekeh santai. “Aku masih ingat wajah sendumu waktu itu, kok. Dan ya, aku juga tahu kalau kamu nggak akan berwajah begitu kalau bukan karena ada suatu masalah yang berat. Makanya aku nggak maksa kamu cerita.”

“…kalau bukan karena masalah yang berat? Kalau ternyata masalahnya sangat remeh?”

“Maksudmu kalau menurutku masalahnya sangat remeh?” Axelle hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum sedih. “Lyney, seremeh apapun masalah itu untukku, kalau untukmu rasanya berat ya berarti itu masalah yang berat. Dan kalau masalah itu bisa membuatmu berwajah begitu, berarti itu masalah yang berat, oke?”

“Tapi…”

Dan seolah ia ingin membuktikan bahwa perkataan Axelle salah, semuanya keluar begitu saja. Semua ceritanya mengenai kartu-kartu yang sebagian sudah diperlihatkannya kepada Axelle. Kisahnya mengenai Hugo yang, tanpa seizinnya, membuat buket bunga Romaritime dari penggemar rahasianya menjadi gimmick pencarian Cinderella untuk magic troupe mereka. Ia tidak tahu kenapa, tapi genggam di tangannya membuatnya begitu mudah untuk mengungkapkan sesak hatinya ketika buket yang ditunggunya tidak lagi datang, berapapun banyaknya buket yang menjadi pengganti. Hingga akhirnya ia sampai pada niat awalnya untuk mengenyahkan semua kartu ucapan yang masih disimpannya, memutus perasaannya pada apa yang sesaat dilihatnya sebagai belenggu. Niat yang kemudian diurungkannya setelah memasuki bar ini dan bertemu dengan Axelle.

Selagi ia bercerita, Axelle hanya diam dan menatapnya. Lyney sendiri hanya dapat menundukkan kepalanya, tak melepaskan pandangan dari telapak tangannya sendiri.

“…remeh, kan? Padahal Hugo tidak salah, memang setelah itu penggemar yang mengirim buket sebelum acara makin banyak. Tapi…”

“Ya nggak, lah,” jawab Axelle sambil menggelengkan kepala. Dan Lyney bisa merasakan kalau genggaman di tangannya semakin erat. “Justru aku takjub karena kamu nggak langsung meledak marah waktu si Hugo ini seenaknya…”

“Aku kan nggak bisa begitu…”

“Iya sih, nanti malah dikira magic troupe kalian gampang pecah,” balas wanita itu, kali ini meringis karena langsung menyadari efek dari komentarnya sendiri. “Tapi ya, Lyney…”

Lembut, kedua tangan yang menangkup pipinya dan memaksanya untuk mendongak. Maka nila miliknya kini bertemu dengan mata yang sewarna lautan itu. Sesuai janji, warna itu masihlah biru yang menerima dan memahami, yang merengkuhnya tanpa setitik pun niat untuk menghakimi. Dan kalau ditambah dengan senyum hangat yang diterimanya…

“Kenapa kamu sampai mikir pandanganku soal kamu akan berubah kalau kamu cerita soal ini?”

“Ya…”

“Hm?”

“Karena ternyata aku orangnya…mudah tersinggung gara-gara hal remeh? Padahal kan karena kejadian ini jadinya magic troupe kami makin sukses, jadi bukan hanya aku saja yang bahagia. Tapi aku…nggak suka ini…”

“Itu sesuatu yang manusiawi, Lyney. Justru aku yang aneh kalau jadi memandangmu jelek karena kamu seperti itu.”

“Tapi kan, demi semuanya…”

“Kalau mau demi semuanya, ya biarkanlah semuanya itu juga berjuang, jangan hanya mengorbankan sesuatu yang memang cuma punya kamu. Memangnya apa yang dikorbankan si Hugo ini untuk popularitas magic troupe kalian?”

“Itu…”

“Kan. Konyol sekali kalau yang dia anggap sebagai ide cemerlang itu cuma memanfaatkan sesuatu yang milik orang. Yang berkorban siapa, yang merasa perlu dipuji-puji siapa.”

“Iya sih…”

“Dan soal buket bunganya tidak datang lagi…” Axelle mengetuk dagunya, terlihat berpikir. “Bukan nggak mungkin sih si pengirimnya memang jadi kesal karena pemberiannya dijadikan gimmick seperti ini.”

“Ng…”

“Yang begitu sebetulnya mudah mengatasinya, tinggal diumumkan saja kalau kamu tidak lagi menggunakan buket bunga Romaritime ini sebagai gimmick. Tapi, apa menurutmu ia akan kembali mengirimkan buket bunganya sesudah kamu mengumumkan itu?”

“Belum tentu…”

“Kalau tetap tidak ada yang datang, apakah kamu mau selamanya sedih?”

“Itu…”

Axelle menghela nafas sebelum mencubit pipi Lyney dengan pelan, membuat sang pemuda sedikit meringis karena terkejut dengan sentuh yang diterimanya.

Percayalah pada dirimu sendiri. Kalaupun kamu tidak yakin kamu bisa, percayalah padaku yang yakin bahwa kamu tidak akan gagal. Apa kamu yakin orang yang mengakhiri setiap suratnya dengan pesan seperti itu akan senang melihatmu ketergantungan pada pemberiannya?”